Oke, hallo guys!
Udah lama ya ga ketemu :v Mungkin udah hampir 1 tahun gitu.
Jadi disini gue bakal memberi kalian suatu informasi mengenai kehidupan kita sehari - hari dalam Agama Islam.
Btw, materi ini salah satu makalah yang pernah gue buat di sekolah. Jadi sumbernya ada dari internet dan juga buku sekolah ya. :))
So, langsung aja kebawah ya !
Prinsip dan Praktik
Ekonomi Islam
Ekonomi Islam adalah upaya atau usaha untuk mengatur
dan menjalankan roda perekonomian yang berasaskan pada nilai-nilai syariat
Islam (diatur dalam Al-Qur'an, Hadis, dan Ijma'). Sedangkan Praktik ekonomi
Islam yaitu segala bentuk aktivitas umat Islam yang berkaitan dengan kegiatan
ekonomi, seperti; jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, syirkah , perbankan, dan jenis kegiatan
ekonomi Islam lainnya.
1. Mu’amalah
Mu’āmalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang
termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb). Sementara dalam fiqh
Islam berarti tukarmenukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara
yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewamenyewa, upah-mengupah,
pinjammeminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.
Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-meminjam, Islam melarang beberapa hal di antaranya seperti berikut:
Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-meminjam, Islam melarang beberapa hal di antaranya seperti berikut:
a. Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
b. Tidak boleh melakukan kegiatan riba.
c. Tidak boleh dengan cara-cara ẓālim (aniaya).
d. Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan
kehalalan.
e. Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
f.
Tidak boleh
melakukan transaksi jual-beli barang haram.
Macam – Macam
Mu’amalah
1. Jual – Beli
Jual-beli
menurut syariat agama ialah kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki
benda tersebut selamanya. Melakukan jual-beli dibenarkan, sesuai dengan firman
Allah Swt. berikut ini:
وَأَحَلَّ
اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya:
“...Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba....” (Q.S.
al-Baqarah: 275).
Apabila jual-beli itu
menyangkut suatu barang yang sangat besar nilainya, dan agar tidak terjadi
kekurangan di belakang hari, al-Qur’ãn menyarankan agar dicatat, dan ada saksi.
Syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam tentang jual-beli
adalah sebagai berikut.
a. Penjual
dan pembelinya haruslah:
b. Ballig.
c. Berakal
sehat.
d. Atas
kehendak sendiri.
e. Uang
dan barangnya haruslah:
·
Halal dan suci. Haram menjual
arak dan bangkai, begitu juga babi dan berhala, termasuk lemak bangkai
tersebut.
·
Bermanfaat. Membeli
barang-barang yang tidak bermanfaat sama dengan menyia-nyiakan harta atau
pemboros.
·
Keadaan barang dapat
diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak dapat diserahterimakan.
Contohnya, menjual ikan dalam laut atau barang yang sedang dijadikan jaminan
sebab semua itu mengandung tipu daya.
·
Keadaan barang diketahui oleh
penjual dan pembeli.
·
Milik sendiri.
·
Ijab Qobul
Seperti pernyataan penjual,
“Saya jual barang ini dengan harga sekian.”Pembeli menjawab, “Baiklah saya
beli.” Dengan demikian, berarti jual-beli itu berlangsung suka sama suka.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jual-beli itu hanya sah jika suka sama
suka.” (HR. Ibnu Hibban).
2.
Khiyar
Khiyār
adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau membatalkannya. Islam
memperbolehkan melakukan khiyār karena jual-beli haruslah berdasarkan suka sama
suka, tanpa ada unsur paksaan sedikit pun. Penjual berhak mempertahankan harga
barang dagangannya, sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas
barang yang diyakininya. Rasulullah saw. bersabda, “Penjual dan pembeli tetap
dalam khiyar selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku benar dan
suka menerangkan keadaan (barang)nya, maka jual-belinya akan memberkahi
keduanya. Apabila keduanya menyembunyikan keadaan sesungguhnya serta berlaku
dusta, maka dihapus keberkahan jual-belinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Macam-Macam Khiyār
1. Khiyār Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih
berada di tempat berlangsungnya transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak
memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli. Rasulullah saw. bersabda,
“Dua orang yang berjual-beli, boleh memilih akan meneruskan atau tidak selama
keduanya belum berpisah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Khiyār Syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam
jual-beli. Misalnya penjual mengatakan, “Saya jual barang ini dengan harga
sekian dengan syarat khiyar tiga hari.” Maksudnya penjual memberi batas waktu
kepada pembeli untuk memutuskan jadi tidaknya pembelian tersebut dalam waktu
tiga hari. Apabila pembeli mengiyakan, status barang tersebut sementara waktu
(dalam masa khiyār) tidak ada pemiliknya. Artinya, si penjual tidak berhak
menawarkan kepada orang lain lagi. Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan
tidak jadi, barang tersebut menjadi hak penjual kembali. Rasulullah saw.
bersabda kepada seorang lelaki, “Engkau boleh khiyār pada segala barang yang
engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah).
3. Khiyār Aibi (cacat), adalah pembeli boleh mengembalikan
barang yang dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas atau
nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera mungkin.
3. Riba
Ribā adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam.
Ribā, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sangat berat. Diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan bahwa, "Rasulullah mengutuk orang yang mengambil ribā, orang yang mewakilkan,orang yang mencatat, dan orang yang menyaksikannya.” (HR. Muslim). Dengan demikian, semua orang yang terlibat dalam riba sekalipun hanya sebagai saksi, terkena dosanya juga.
Guna menghindari riba, apabila mengadakan jual-beli barang sejenis seperti emas dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat:
Ribā adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam.
Ribā, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sangat berat. Diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan bahwa, "Rasulullah mengutuk orang yang mengambil ribā, orang yang mewakilkan,orang yang mencatat, dan orang yang menyaksikannya.” (HR. Muslim). Dengan demikian, semua orang yang terlibat dalam riba sekalipun hanya sebagai saksi, terkena dosanya juga.
Guna menghindari riba, apabila mengadakan jual-beli barang sejenis seperti emas dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat:
a. sama timbangan ukurannya.
b. dilakukan serah terima saat itu juga.
c. secara tunai.
Macam-Macam
Ribā :
a. Ribā Faḍli, adalah pertukaran barang sejenis yang tidak sama
timbangannya.
b. Ribā Qorḍi, adalah pinjammeminjam dengan syarat harus memberi
kelebihan saat mengembalikannya.
c. Ribā Yādi, adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama
timbangannya, namun penjual dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah
terima.
d. Ribā Nasi’ah, adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang
beberapa waktu kemudian.
4. Utang-piutang
Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja dengan tidak mengubah keadaannya. Misalnya utang Rp100.000,00 di kemudian hari harus melunasinya Rp100.000,00. Memberi utang kepada seseorang berarti menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama. Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu:
Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja dengan tidak mengubah keadaannya. Misalnya utang Rp100.000,00 di kemudian hari harus melunasinya Rp100.000,00. Memberi utang kepada seseorang berarti menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama. Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu:
a. yang berpiutang dan
yang berutang
b. ada harta atau barang
c. Lafadz kesepakatan. Misal: “Saya utangkan ini kepadamu.” Yang
berutang menjawab, “Ya, saya utang dulu, beberapa hari lagi (sebutkan dengan
jelas) atau jika sudah punya akan saya lunasi.”
5. Sewa-menyewa
Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut ijārah, artinya imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.
Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut ijārah, artinya imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.
Syarat dan
Rukun Sewa-menyewa
a. Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah ballig dan
berakal sehat.
b. Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan
karena dipaksa.
c. Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan,
atau walinya.
d. Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
e.
Manfaat yang
akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua belah
pihak.
6. Syirkah
Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan
Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan
Adapun rukun
syirkah secara garis besar ada tiga, yaitu seperti berikut:
a. Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Syarat orang yang
melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan taṡarruf
(pengelolaan harta).
b. Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup
pekerjaan atau modal. Adapun syarat pekerjaan atau benda yang dikelola dalam
syirkah harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat
diwakilkan.
c. Akad atau yang disebut juga dengan istilah ṡigat. Adapun
syarat sah akad harus berupa taṡarruf, yaitu adanya aktivitas pengelolaan.
Syirkah dibagi
menjadi beberapa macam, yaitu syirkah `inān, syirkah ‘abdān, syirkah wujūh, dan
syirkah mufāwaḍah..
a. Syirkah ‘Inān
Syirkah ‘inān
adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing memberi
kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan
dalil sunah dan ijma’ sahabat.
b. Syirkah ‘Abdān
Syirkah ‘abdān
adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan
kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal (amal). Konstribusi kerja
itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah) ataupun kerja fisik
(seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal.
c. Syirkah Wujūh
Syirkah wujūh
adalah kerja sama karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian
(wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujūh adalah syirkah antara dua
pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga
yang memberikan konstribusi modal (mal).
d. Syirkah Mufāwaḍah
Syirkah mufāwaḍah
adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis
syirkah di atas. Syirkah mufāwaḍah dalam pengertian ini boleh dipraktikkan.
Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti boleh digabungkan menjadi satu.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal
sesuai porsi modal jika berupa syirkah ‘inān, atau ditanggung pemodal saja jika
berupa mufāwaḍah, atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase
barang dagangan yang dimiliki jika berupa syirkah wujūh.
e. Muḍārabah
Muḍārabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan semua modal (ṡāhibul māl), pihak lainnya menjadi pengelola atau pengusaha (muḍarrib). Keuntungan usaha secara muḍārabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, namun apabila mengalami kerugian, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan, pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut.
Muḍārabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan semua modal (ṡāhibul māl), pihak lainnya menjadi pengelola atau pengusaha (muḍarrib). Keuntungan usaha secara muḍārabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, namun apabila mengalami kerugian, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan, pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut.
f.
Musāqah,
Muzāra’ah, dan Mukhābarah
Musāqah adalah
kerja sama antara pemilik kebun dan petani di mana sang pemilik kebun
menyerahkan kepada petani agar dipelihara dan hasil panennya nanti akan dibagi
dua menurut persentase yang ditentukan pada waktu akad.
Muzāra’ah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari petani. Sementara mukhābarah ialah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan. Muzāra’ah memang sering kali diidentikkan dengan mukhābarah. Namun demikian, keduanya sebenarnya memiliki sedikit perbedaan. Apabila muzāra’ah, benihnya berasal dari petani penggarap, sedangkan mukhābarah benihnya berasal dari pemilik lahan.
Muzāra’ah dan mukhābarah merupakan bentuk kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap yang sudah dikenal sejak masa Rasulullah saw. Dalam hal ini, pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan pembagian persentase tertentu dari hasil panen. sama-sama dipraktikkan oleh masyarakat petani.
Muzāra’ah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari petani. Sementara mukhābarah ialah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan. Muzāra’ah memang sering kali diidentikkan dengan mukhābarah. Namun demikian, keduanya sebenarnya memiliki sedikit perbedaan. Apabila muzāra’ah, benihnya berasal dari petani penggarap, sedangkan mukhābarah benihnya berasal dari pemilik lahan.
Muzāra’ah dan mukhābarah merupakan bentuk kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap yang sudah dikenal sejak masa Rasulullah saw. Dalam hal ini, pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan pembagian persentase tertentu dari hasil panen. sama-sama dipraktikkan oleh masyarakat petani.
7.
Perbankan
Bank adalah
sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana masyarakat dan
disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem bunga. Dengan demikian, hakikat
dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat yang memerlukan, baik dalam menyimpan
maupun meminjamkan, baik berupa uang atau barang berharga lainnya dengan
imbalan bunga yang harus dibayarkan oleh masyarakat pengguna jasa bank.
Bank dilihat dari segi penerapan bunganya, dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu seperti berikut:
a. Bank Konvensional
Bank
konvensional ialah bank yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan
kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun badan usaha, guna mengembangkan
usahanya dengan menggunakan sistem bunga.
b. Bank Islam atau Bank Syari’ah
Bank Islam
atau bank syari’ah ialah bank yang menjalankan operasinya menurut syariat
Islam. Istilah bunga yang ada pada bank konvensional tidak ada dalam bank
Islam. Bank syariah menggunakan beberapa cara yang bersih dari riba, misalnya
seperti berikut:
·
Muḍārabah
·
Musyārakah
·
Wadi’ah, yakni
jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga. Amanah dari pihak
nasabah berupa uang atau barang titipan yang telah disebutkan di atas
dipelihara dengan baik oleh pihak bank.
·
Qarḍul hasān,
yakni pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah yang baik dalam keadaan
darurat. Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh
tempo.
·
Murābahah,
yaitu suatu istilah dalam fiqh Islam yang menggambarkan suatu jenis penjualan
di mana penjual sepakat dengan pembeli untuk menyediakan suatu produk, dengan
ditambah jumlah keuntungan tertentu di atas biaya produksi.
8.
Asuransi
Syari’ah
Asuransi
berasal dari bahasa Belanda, assurantie
yang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’m³n yang
berarti pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari
perasaan takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan tertanggung
(geasrurrerde) disebut musta’min. Dalam Islam, asuransi merupakan bagian dari
muāmalah. Kaitan dengan dasar hukum asuransi menurut fiqh Islam adalah boleh
(jaiz) dengan suatu ketentuan produk asuransi tersebut harus sesuai dengan
ketentuan hukum Islam. Pada umumnya, para ulama berpendapat asuransi yang
berdasarkan syari’ah dibolehkan dan asuransi konvensional haram hukumnya.
Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim yang didasarkan nilai tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap jiwa tidak memiliki daya apa pun ketika menerima musibah dari Allah Swt., baik berupa kematian, kecelakaan, bencana alam maupun takdir buruk yang lain. Untuk menghadapi berbagai musibah tersebut, ada beberapa cara untuk menghadapinya. Pertama, menanggungnya sendiri. Kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain. Ketiga, mengelolanya bersama-sama.
Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim yang didasarkan nilai tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap jiwa tidak memiliki daya apa pun ketika menerima musibah dari Allah Swt., baik berupa kematian, kecelakaan, bencana alam maupun takdir buruk yang lain. Untuk menghadapi berbagai musibah tersebut, ada beberapa cara untuk menghadapinya. Pertama, menanggungnya sendiri. Kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain. Ketiga, mengelolanya bersama-sama.
Perbedaan Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional
Prinsip tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem asuransi konvensional, yang menggunakan prinsip transfer risiko. Seseorang membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia pikul kepada perusahaan asuransi. Dengan kata lain, telah terjadi ‘jual-beli’ atas risiko kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian asuransi konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang bersifat pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa.
Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di mana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi ketika ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Dalam konsep asuransi syari’ah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun, lantas karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan) yang tidak dapat diambil.
Prinsip tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem asuransi konvensional, yang menggunakan prinsip transfer risiko. Seseorang membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia pikul kepada perusahaan asuransi. Dengan kata lain, telah terjadi ‘jual-beli’ atas risiko kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian asuransi konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang bersifat pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa.
Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di mana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi ketika ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Dalam konsep asuransi syari’ah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun, lantas karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan) yang tidak dapat diambil.